oleh : Pimred MP Polsaman,
Beberapa waktu lalu perhelatan syukuran mewah dilakukan di Rumah Dinas Walikota Lubuklinggau, berbarengan dengan Musibah Banjir yang menelan 6.036 Rumah dengan hampir lebih dari 26 Desa yang terendam dan semalam Kecamatan Rawas Ilir dan beberapa desa lainnya di Utara Musi Rawas juga mendapatkan kiriman air bah hinggi ketinggian 40 Cm-1 Meter.
Delapan hari sudah bencana Banjir ini menyerang Kabupaten yang memiliki 500 ribu jiwa lebih ini dengan 21 kecamatan dan 277 Desa dengan Luas 1,4 Juta meter persegi. Dan hingga saat ini juga belum dapat disimpulkan berapa besar kerugian daerah akibat bencana ini. Tak seperti Oku Selatan dihari keenam telah terhitung lebih dari 19 kerugian yang mereka alami, meski hanya sementara mereka telah memberikan gambaran betapa siap dan sigapnya pemerintahan Oku Selatan yang katanya jauh tertinggal dengan kemajuan Kabupaten Musi Rawas yang memiliki anggaran 1,2 Triliun APBD-nya.
Nanti dulu untuk menyimpulkan berapa kerugian daerah, justru kemarin lusa (25/02) poskp Banjir Kecamatan Muara Kelingi diserbu Warga 3 RT akumulasi dari buruknya manajemen pendistribusian dan penanggulangan bencana Banjir ini. Bukan hal yang mesti disangkal lagi dan bukan hal yang sewajarnya. Karena hal ini mestinya telah menjadi sebuah item kerja pemerintah dalam memberikan pelayanan dan cara kerja yang baik.
meminjam analisas Staff Ahli Kabupaten Musi Rawas, Achmad Murtin, SH. Fenomena penjarahan atau dalam bahasa halusnya menarik paksa bantuan bencana oleh warga tak mesti terjadi, kala para penjabat terkait faham tupoksi kerja mereka dan memiliki program analisa yang jelas.
bukankah ini sebuah hal yang pasti terjadi hanya waktu dan tempat yang mesti diprediksi. Kenapa SOP (Standar Operasional) kerja, atau bahasa para intlektual SWOT tak dijalankan. Karena efektivitas kerja akan terukur berawal dari sebuah analisa konfrehensif dalam setiap laanggam kerja.
Bukankah Pemerintahan Daerah telh memiliki Bank Data dan memiliki akses luas untuk mendapatkan data-data tentang hal ini. Seperti rapat dengan Staff ahli beberapa bulan lalu sebelum bencana Banjir menelan 3 kecamatan ini terjadi, banjir di KArang dapo yang direspon dengan rapat bersama dengan Staff ahli Pemerintahan Kabupaten Musi Rawas dapat menjadi sebuah refrensif dalam penanganan dan penanggulangan hal ini.
Andai hal itu berjalan, dihari ke 8 ini, data tentang jumlah KK, Nama-nama Korban Bencana, Jumlah Ternak, Jumlah area ladang dan pertanian hingga jumlah kerugian akan mudah untuk ditafsir dan dikalkulasi. Karena data itu telah ada di Dinas terkait, tentang jumlah KK, Jumlah Rumah, Nama-nama Desa dan KEcamatan yang rawan Banjir semua telah tersedia, jika memang mereka yang terkait mau menjalankan pola kerja yang profesional dan prima.
Namun apa daya ketidak jelasan kinerja, ketidak jelasan pola distribusi, hingga pada pola kordinasi antar Dinas dan pimpinan teras pemerintahan daerah tak pelak sulit di ukur. HAri pertama kejadian Sabtu lalu satu minggu lalu, posisi orang Nomor satu di Musi Rawas tak ditempat, hanya beberapa pimpinan, seperti sekda mengambil langkah sendiri. Apa yang dijawab pihak pemerintahan ketika ditanya, kita sedang mendata.
Aneh bukan, apakah tak terpikir oleh pemerintahan daerah, membuat data base tentang desa rawan banjir, kecamatan rawan banjir apalagi manajemen distribusi bantuan dalam hal penanganan Bencana, jadi wajar jika dalam 8 hari bencana yang mulai menyurut tak ada satu pun dinas terkait atau yang berkompeten berani menyimpulkan berepa kerugian daerah.
Klimaks dari manajemen dan tak ada Swot (analisa) yang baik, kericuhan dan penjarahan bantuan adalah konsekuensi real yang mesti dijadikan contoh bagi kita untuk menanggani bencana kedepan. Bukan hanya Banjir, bencana lain, seperti angin puting beliung, gempa dan sebagainya.
Hal yang memilukan lagi adalah telatnya pemberian support The First Leader daerah ini, selaku Bupati. Hari pertama rakyat berjuang sendiri dalam menghadapi serangan Bencana. Setelah air surut dan bantuan dari semua kalangan muncul, keluarlah sang pemimpin dari mana arahnya tiba-tiba muncul dimedia lokal dengan satu halaman penuh society Bupati Musi Rawas menyisir daerah banjir, namun sayang Diingatkan lagi setelah banjir hampir usai.
Mengalomania
Penyakit yang kemungkinan merasa diri sang penguasa lebih pintar, lebih memahami dan lebih segalanya dari intlektual, akademisi dan praktisi politisi lokal adalah sebuah penyakit yang mesti dihancurkan karena jika tak berani HEgemoni itu akan terus menjadi bayang-bayang ketakutan bagi semua kalangan. Hingga pengimbang pemerintah dan pemimin daerah akan lenyap dan hangus. Akhirnya kita akan memulai dari awal lagi membangun pondasi karakter daerah ini.
Bukan hanya Musi Rawas juga Kota Lubuklinggau yang baru saja berpesta pora merayakan kekuasaan mereka selama 2 tahun, kondisi yang tak jauh beda, tak perlu sama tapi hasilnya yang menakutkan. Mengulang Sudut pandang kami minggu lalu, Krisis Inlektual daerah ini akan terus terjadi. Jika tak ada media yang memberikan sudut pandang lain penguasa secara objektif, atau praktisi Hukum , akademisi dan intelktual berdiam diri.
Megalomania akan merasuk kedalam pribadi Bupati Musi RAwas dan Walikota Lubuklinggau, jika tak ada akademisi, Praktisi baik politik, agamawan, media dan intlektual muda bernai berbicara terbuka menjadi sparing patner pemerintah, selaku kontrol, pemgimbang dan sekaligus pengkritik membangun.
Lihat tak ada protes atau pendapat akademisi, jika Dinas Kesehatan dipimpin oleh seorang yang bukan ahlinya. Mungkinkah Seorang Sarjana Hukum yang tak mengerti seluk beluk dan mekanisme dinas kesehatan namun dipaksa untuk memimpin. Ini adalah salah satu indikator krisis didaerah ini.
lalu siapa yang bertanggung jawab, selain dari Media, Jurnalis secara individu, akademisi yang tak peduli dan politisi yang manut untuk berharap adanya rempah-rempah yang mengalir kekantong mereka.
Jadi Tanyakan, Kita biarkan penyakit Megalomania ini menjangkiti pimpinan daerah kita ?, atau mulai berbenah.
www.politiksaman.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar